logo
Selamat datang di GNFI Note, jika ingin dibuatkan Note silakan reply utas/thread baik, menarik, dan bermanfaat yang ada di Twitter, mention @gnfinote tambahkan kata kunci noted atau noted #backward untuk thread lama dengan mention di tweet terakhir.

Mampukah Jokowi Membawa Indonesia Menghindari Ancaman Resesi Ekonomi? Thread Utas oleh Fery...

Mampukah Jokowi Membawa Indonesia Menghindari Ancaman Resesi Ekonomi? Thread Utas oleh Fery W

Perekonomian Indonesia kini berada di bibir jurang resesi ekonomi. Fakta yang tak mengejutkan sebenarnya, karena jauh-jauh hari memang sudah diprediksi banyak pihak termasuk oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pertumbuhan ekonomi bakal berada dalam teritori negatif.

Pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2020 menurut data yang dilansir Biro Pusat Statistik berada di angka minus 5,32 persen.

Terkontraksi cukup dalam diatas prediksi pemerintah di kisaran minus 4,3 hingga 4,8 persen. Dengan realisasi sedemikian dalam banyak pihak yang menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia sudah terjerembab jurang resesi.

Alasannya jika dihitung berdasarkan kuartal ke kuartal ekonomi Indonesia sudah dua kali mencatatkan pertumbuhan minus secara berturut-turut, minus 2,41 di Kuartal I dan minus 4,9 persen di Kuartal II.

Namun demikian, perhitungan seperti ini bukan merupakan formula yang normal digunakan dalam menetapkan sebuah negara masuk ke dalam situasi resesi.

Secara konsep sebuah negara dinyatakan resesi jika realisasi pertumbuhan ekonominya negatif dua kuartal berturut-turut dihitung secara tahunan year on year (Y oY).

Terlepas dari urusan menentukan formulasi konsep resesi, faktanya ekonomi Indonesia kini tengah dalam situasi yang sulit. Ancaman resesi terhadap perekonomian Indonesia itu nyata adanya dan probabilitas Indonesia akan berada dalam kondisi resesi cukup besar.

Jika mengacu pada situasi perekonomian di Kuartal II tahun 2020 ini, sektor-sektor yang menjadi penopang utama pertunbuhan produk domestik bruto (PDB) mengalami penurunan yang sangat tajam.

Sektor konsumsi rumah tangga yang menyumbang 57,48 persen terhadap PDB anjlok minus 5,51 persen (YoY).

Sektor investasi langsung (FDI) minus hingga 8,61 persen realisasi investasi pada Kuartal II hanya Rp.97,6 triliun, padahal sumbangannya terhadap PDB cukup tinggi di angka 30,61 persen.

Kegiatan perdagangan ekspor dan impor menyumbang terhadap PDB sebesar 15,69 untuk ekspor dan 15,51 untuk impor, di Kuartal II, keduanya tumbuh negatif menjadi masing-masing minus 11,66 persen dan 16,96 persen.

Kegiatan perdagangan ekspor dan impor menyumbang terhadap PDB sebesar 15,69 untuk ekspor dan 15,51 untuk impor, di Kuartal II, keduanya tumbuh negatif menjadi masing-masing minus 11,66 persen dan 16,96 persen.

Dalam hal belanja pemerintah, secara kuartalan tumbuh positif hingga 22,3 persen namun angka ini tak cukup untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara.

Penurunan konsumsi rumah tangga yang cukup dalam tak pelak lagi merupakan hal utama yg menyeret perekonomian Indonesia terkontraksi tajam. Kondisi ini salah satunya dipicu oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Kebijakan PSBB lumayan ketat yang diberlakukan pemerintah antara bulan Mei hingga Juli memukul sektor konsumsi rumah tangga ini. Salah satu contohnya adalah sektor transportasi yang mengalami penurunan pengguna karena mobilitasnya dibatasi atas nama PSBB.

Kemudian ditutupnya berbagai fasilitas transaksi seperti pasar tradisional dan pusat-pusat perbelanjaan modern seperti Mal dan Supermarket.

Kondisi ini merupakan sebuah keharusan agar Covid -19 tak terus meluas penyebarannya. Hal ini lah yang menggerus konsumsi rumah tangga.

Selain itu menurunnya konsumsi rumah tangga terjadi karena daya beli masyarakat terus melemah akibat banyak diantara masyarakat yang harus kehilangan pekerjaannya.

Sementara kelas menangah yang tetap bekerja dan menerima gaji secara normal cenderung menahan diri dan lebih nyaman memegang uang tunai dari pada berbelanja. Hal ini terjadi karena adanya ketidakpastian sampai kapan virus laknat ini akan bercokol di muka bumi Indonesia.

Selain itu mereka melihat pemerintah gagap menangani virus ini, sehingga kepercayaan mereka untuk membelanjakan uangnya menjadi turun.

Nah hal ini pun kemudian berkaitan dengan sektor investasi, tak ada kepastian merupakan penyebab utama menurunnya investasi di Kuartal II 2020 ini.

Selain itu, penambahan kapasitas produksi yang merupakan bagian ekspansi bisnis untuk sementara dihentikan oleh para investor.

Karena daya beli masyarakat dalam kondisi melemah, jadi dikhawatirkan jika ekspansi usaha tetap dilakukan outputnya tak akan terserap oleh pasar.

Kondisi ini kemudian menurunkan pula berbagai transaksi impor minus 12,03 persen di bulan Juni , sementara ekspor meskipun mengalami kenaikan pada bulan Juni 2020 menjadi sebesar 10,67 persen dari 8,44 persen bulan sebelumnya,

namun masih lebih rendah dibanding bulan Maret 2020 yang tumbuh 13,34 persen. Situasi ekonomi yang sudah sulit ini kemudian diperparah dengan tidak berjalannya belanja pemerintah secara optimal.

Belanja Kementerian, Lembaga Negara, dan Pemerintah Daerah seperti jalan ditempat akibat birokrasi yang terlalu rumit dan tidak efesien serta kurang efektif.

Hal ini yang kemudian memicu amarah Peesiden Jokowi karena sejatinya Jokowi paham bahwa daya beli masyarakatlah yang harus diperbaiki terlebih dahulu agar perekenomian nasional terkerek naik.

Padahal untuk berbagai program penanganan dampak ekonomi pandemi Covid-19 yang diformulasikan dalam skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pemerintah Indonesia telah menyediakan dana sebesar Rp. 695 triliun.

Menurut situs https://kemenkeu.go.id/, PEN ini memiliki 5 tema program kerja, Indonesia Aman, Indonesia Sehat, Indonesia Berdaya, Indonesia Tumbuh, dan Membeli Produk Indonesia.

Konsep skema PEN inilah yang menjadi bumper dan langkah nyata Pemerintahan Jokowi dalam menangani dampak kesehatan dan ekonomi akibat Covid-19, yang akan membawa Indonesia keluar dari krisis karena virus ini.

Dengan konsep dan dana yang tersedia sangat besar dalam skema PEN ini seharusnya Indonesia dapat menghindari resesi jika dialokasikan dan dicairkan secara cepat dan tepat guna.

Namun antara harapan dan realitas sepertinya tak sejalan. Hingga Kuartal II 2020 anggaran PEN yang berhasil direalisasikan hanya 21,9 persen atau setara dengan Rp.151,25 trilun dari total pagu anggaran.

Minimnya realisasi anggaran inilah yang bisa menyeret Indonesia ke jurang resesi ekonomi karena alokasi anggaran tak segera terserap sehingga uang yang beredar dimasyarakat bertambah banyak.

Kondisi ini bisa terjadi salah satunya karena birkrasi pencairan anggaran begitu rumit dan berbelit selain itu dalam perkara bantuan sosial (bansos) dan berbagai stimulus lain,

akurasi data yang dimiliki Kementerian dan lembaga sangat buruk sehingga mengganjal pula Skema bantuan yang dicanangkan oleh skema PEN.

Realitas inilah yang membuat lambatnya realisasi serapan sehingga menurunkan daya beli masyarakat sehingga sektor konsumsi rumah tangga terus mengalami kemerosotan.

Yang akhirnya membuat pertumbuhan ekonomi tak beranjak naik. Selain itu pelemahan konsumsi masyarakat terus terjadi, sementara mereka yang memiliki uang lebih memilih untuk menunda belanjanya dan menyimpan uangnya di Bank.

Hal ini dibuktikan dengan naiknya nilai tabungan di perbankan pada bulan Juni sebesar 8,9 persen. Makanya kemudian sepanjang bulan Juni BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,1 persen. Lantas apa yang harus dilakukan Pemerintah Jokowi agar Indonesia terhindar dari resesi?

Segera realisasikan anggaran yang pengalokasiannya sudah diatur dalam PEN. Berbagai skema mitigasi yang telah disiapkan oleh pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 namun hanya sebagian kecil yang telah direalisasikan.

Hal itu terjadi karena faktor-faktor teknis sebenarnya, mulai dari akurasi data hingga rumitnya proses birokrasi pencairan anggaran.

Kecepatan penyerapan anggaran menjadi faktor krusial agar terhindar dari resesi. Itulah kemudian dalam beberapa pekan belakangan pemerintah tampak jorjoran menggelontorkan dana puluhan triliun dalam bentuk bansos dengan berbagai skema kepada masyarakat.

Seperti insentif bagi karyawan swasta bergaji di bawah Rp 5 juta. Namun harus diingat pula kecepatan gelontoran dana tersebut harus dibarengi dengan kemampuan identifikasi dalam mengukur dampak positif kepada perekonomian individu masyarakat dan perekonomian nasional.

Jika itu bisa dilakukan secara simultan dan cepat serta tepat Indonesia bisa saja tak terjerembab dalam kubangan resesi meskipun sangat berat.

Jika itu bisa dilakukan secara simultan dan cepat serta tepat Indonesia bisa saja tak terjerembab dalam kubangan resesi meskipun sangat berat.

Tapi kemungkinan masih berada di zona negatif juga tetap besar. "Memang probabilitas negatif (di kuartal III) masih ada karena penurunan sektor tidak bisa secara cepat pulih," ujarnya, Rabu (5/8/20) seperti dilansir https://www.cnbcindonesia.com/.

Semoga saja ini tak terjadi dan Indonesia bisa selamat dari resesi, meskipun tahun 2020 ini perekonomian Indonesia diprediksi akan tetap tumbuh negatif.

Sumber asli di Twitter: https://twitter.com/mbok_minahh/status/1297809939167981568

Baca Note menarik lainnya